Tentang Angkasa dan Awan

bakmi Jawa Mbah Sri (@bakmijawasri) / X

"Makin ku mengenalmu, makin aku kenal pula diriku", gumam Awan saat berjalan pulang, menerjang dinginnya malam pada pukul 10, setelah pertemuan singkatnya dengan Angkasa.

Awan menyukai Angkasa, singkatnya. Ia mengagumi sosok lelaki itu lebih dari siapapun yang pernah ia kagumi sebelumnya. Namun pertemanan yang sudah ia jalin dengan Angkasa sungguh tak tergantikan, walau ia setengah mati berharap laki-laki itu menyimpan rasa padanya juga.

"Nanti kalau butuh bercerita, kabari aku ya!", ucap Angkasa saat berpamitan dengan Awan. Sebelum gadis itu benar-benar menghilang dari pandangan, Angkasa bertanya,

"Apakah besok kita akan bertemu lagi?"

Restoran Jawa, pukul 8 malam.

Awan tidak akan menyebut pertemuan mereka malam ini sebagai perpisahan mereka sebelum Angkasa kembali ke kampung halamannya, meninggalkan Awan terdampar di negeri orang. Tanpa dirinya.

Hanya makan malam biasa, dan Awan siap menjadi ember keluh kesah bagi Angkasa, sebab lelaki itu telah menjalani hari yang panjang sebagai manusia paling aktif seantero kampus. Tak seperti dirinya yang menghabiskan 10 jam sendiri untuk bermain-main di lahan mimpi. 

Sembari menyeruput mie, Awan mendengarkan cerita Angkasa tentang kesehariannya. 

Seperti yang telah diduga, Angkasa hanya menghabiskan satu jam untuk tidur, karena sisa harinya benar-benar habis untuk mengerjakan tugas kuliah tuntutan dari dosen galaknya itu dan menghadiri acara komunitas mahasiswa wirausahanya. Walau raga dan pikirannya lelah, wajahnya tak menunjukkannya. Ia pandai menyembunyikan rasa lelahnya, entah bagaimana. 

Angkasa adalah manusia yang perfeksionis; ia geram jika hasil kerjanya begadang semalam suntuk mendapat komentar pedas dari dosennya, namun di saat itu juga ia akan merevisi dan mengerjakan apa yang bisa ia perbaiki. Beliau ini adalah mahasiswa arsitektur sejati. Mungkin baginya tidur hanya sebatas kegiatan yang buang-buang waktu saja. Ia akan memanfaatkan seluruh energinya untuk memikirkan ulang konsep desain yang sudah ia pikirkan matang-matang, bertanya-tanya sendiri apa yang perlu ia perbaiki, dan menjawabnya sendiri. 

Awan hanya bisa terbengong menonton tingkah laku sahabatnya. Lagi lagi ia mengagumi bagaimana Angkasa masih mampu mengerjakan tugasnya saat ia sudah bekerja seharian penuh, dengan satu jam waktu istirahat pula. 

Di sisi yang lain, Angkasa juga merupakan sosok orang yang paling "fuck-off" terhadap sesuatu yang tidak ia sukai. Jika ia tidak menyukai seseorang, sesuatu, apapun, dia bisa dengan mudah memblokir 'sesuatu' itu dari hidupnya. Tidak ada rasa "gak-enakan" sedikitpun. Tidak ya tidak. Ia juga menerapkan prinsip menjadi seperti cermin. "Jika orang itu baik, aku akan baik padanya. Jika ia brengsek, aku brengsekin balik," ucapnya tegas. Dia adalah orang berpendirian. Bahkan kata kakaknya, Angkasa adalah orang paling dewasa di antara kakaknya dan adiknya. Ia tidak hanya berpikir sampai plan B, ia akan mengkaji plan C,D,E dan seterusnya jika plan A tidak berhasil. Ia juga akan cepat marah bila ada sesuatu yang miss dari rencananya yang sudah terstruktur rapi itu. Bukan tipe marah yang mengamuk, melainkan marah dalam diam, namun siapapun akan bisa melihat aura api yang muncul dari dirinya. Sungguh menyeramkan.

Angkasa adalah manusia yang rumit. Tidak akan ada celah untuk kisah romansa yang bisa singgah di antara semua kesibukan itu. Setidaknya untuk saat ini Awan mengerti, dan ia terpaksa mundur perlahan. Karena jauh berbeda dari Angkasa, Awan adalah jiwa yang bebas. Tidak terikat.

Filosofi hidupnya dengan Angkasa bagaikan langit dan bumi. Ia datang untuk berpetualang, mengeksplorasi bagian dunia yang tidak pernah ia sentuh, meromantisasi kisah hidupnya sendiri, dan menikmati bagaimana rasanya hidup seutuhnya sebagai manusia. Hidup hanya sekali, dan Awan enggan mati dengan kanvas kosong pada kehidupannya. Ia akan mewarnai kanvas kehidupannya sendiri, tanpa perlu dipandu atau bahkan membiarkan orang lain melukis sebelum ia puas dengan lukisannya sendiri. 

Ingin rasanya ia mengajak Angkasa berpetualang, menjadi dua manusia tersesat di tanah orang, namun tampaknya Angkasa sibuk dengan dunianya sendiri. Maka biarlah. 

Di restoran itu, Angkasa berulang kali mengeluhkan sikap dosennya yang tidak kenal ampun saat mengomentari draft desain miliknya. Awan tertawa, melihat bagaimana dosennya sungguh menelantarkan mahasiswanya seperti anak bebek tanpa induknya. Benar-benar kehilangan arah. Di saat-saat seperti inilah kehadiran Angkasa sangat membantu anak bebek tersesat ini. Kehadiran Angkasa yang perfeksionis, mungkin ia tak menyadarinya, sungguh membantu Awan untuk tersadar dari lamunannya. Ia sibuk terbang berkelana, sampai lupa caranya berpijak. Gadis itu terlalu lugu untuk menyadari beban yang dibebankan di pundaknya, atau saja ia pura-pura tidak menyadarinya? 

Angkasa berperan untuk membangunkannya dari mimpi indahnya. Dari petualangannya. Angkasa menyadarkannya bahwa dunia tidak akan selamanya indah, penuh hambatan dan rintangan, dan ia akan selalu ada untuk menuntun Awan maju. 

Sementara Awan akan selalu ada untuk Angkasa saat ia butuh rehat dari dunianya yang padat. Tak lupa ia mengingatkannya untuk beristirahat, untuk sesekali melihat keluar dari jendelanya yang sempit. Bahwa dunia itu luas, dan hidup itu singkat. Ia akan selalu ada untuk menuntun Angkasa keluar dan berpetualang. 

Malam itu dihabiskan dengan mendiskusikan hasil karya Angkasa yang dikomentari dosennya itu. Awan tidak bisa banyak berkomentar, karena posisinya hanyalah sebagai pengamat. Dengan kehadirannya yang sangat lugu itu, Angkasa masih mau meladeni pertanyaan-pertanyaan Awan dengan sabar dan telaten. Angkasa menjelaskan, Awan mendengarkan. Akan ada suatu saat di mana Awan akan bercerita, dan Angkasa akan menyimak.

Biarlah Awan mengagumi dalam diam, selama ia masih memiliki Angkasa di sisinya. Tidak akan ada yang bisa berubah jika pertemanan ini terus berlanjut, sampai kapanpun, karena apa yang mereka punya sekarang terlalu berharga untuk ditukar, apalagi ditinggalkan begitu saja. Biarlah seonggok hubungan yang terlalu murah untuk sekedar dinamakan pertemanan itu berlanjut, asalkan mereka tetap ada untuk satu sama lain.

***

 "I'll see you when I see you"

Terima kasih banyak atas pelajarannya, Angkasa. Aku berhutang satu petualangan untukmu! 



Comments

Popular Posts