friends?
Dengan banyak waktu kosong macem liburan semesteran gini, gue jadi kepikiran banyak soal list temen-temen gue. Di Malang, gue ngerasa "aman" karena punya lingkaran pertemanan yang positif dan well, bisa dibilang cocok lah sama gue. That way, I don't have to worry much about surviving college alone. My college friends, they're like a family to me. Bener-bener definisi pengganti emak bapak gue selama gue merantau. We've been really supportive towards each other, misal saling ngedatengin event penting satu sama lain dan jadi suporter. Intinya, feels like I have everything. But coming back to Bekasi, it hits me.
Dengan misah dari temen-temen perantauan, I feel empty. At first I thought I just need some adjustment. But then, gue mikir lagi, siapa sih temen-temen deket gue? Apakah temen yang gue anggap deket merasa mereka bukan temen deketnya gue? Apakah dengan mutualan di twitter, IG second, mereka automatis jadi temen kita? I'm talking about being friends here, bukan cuma yang sekedar tau nama. Bahkan, dengan kita dimasukkin ke closefriendnya seseorang, bukan berarti kita deket sama orang itu. Ga ngerti juga apa maksudnya. I don't feel close or worthy enough to be in their close friend list in IG. I mean, dunia sosmed ini cuma dunia tipu-tipu. Dengan gak ada kewajiban buat sekolah atau kuliah yang memaksa kita buat berinteraksi sama banyak orang, rasanya gue kembali jadi manusia dengan 0 kemampuan bersosialisasi. Yes I already met a few friend here, during semester break, dan salah satunya bahkan ketemuan sama temen kuliah. Kemana semua temen sekolah gue?! Pertanyaan yang lebih penting, apa bener gue punya temen dulu?
I'm not good with groups of friend. I'm always the one-on-one type of friend relationships since primary. Makanya kaget bisa dapet sirkel yang nyaman di kuliah. Puji Tuhan. Jujur, pertemuan terakhir gue sebelum covid dengan temen SMA gue emang bisa dibilang nggak nyaman sih.
TMI sedikit; gue deket dengan A dan B, ceritanya dulu kita bertiga temen deket di kelas. Nah, sehari sebelum libur covid, kita janjian buat main di mall. Nah karena suatu hal, A dan B mesti di sekolah lebih lama. Daripada nunggu, gue izin pergi duluan sama temen gue yang lain, dengan harapan nanti ketemuan di mallnya langsung. Somehow, A dan B nganggep gue ninggalin mereka, padahal I clearly remembered talking to them. We never end up hanging out at the mall. Dan itu adalah hari terakhir kita ketemu as school-mates, sebelum kelas online. I guess I was wrong. Dan jadinya gue lebih deket sama temen gue yang berangkat duluan ke mall itu. I wonder how things would work if I hadn't gone to the mall first. Since then, gue akuin hubungan kita agak renggang, sementara A dan B tetep bestian. Jujur, gue juga kurang suka sama A kalau ngechat. She's cold and selfish. Sementara B adalah orang paling sabar, paling baik di dunia. Jadi hubungan mereka tuh, sejauh pengamatan gue ya, kayak psikiater dan pasiennya. Selalu B yang meladeni si A. Gue bukan orang sabar. Kalau ada orang yang gak respect ke gue, ya gue juga gak akan melunak. Tapi ya itu, karena ga ketemu, jadi gue nilai dia berdasarkan chat aja. Kalau ketemu langsung ga separah itu kok. A bahkan bikinin gue surat buat nyemangatin gue sebelum UTBK. Yeah begitulah. Sekarang mau ngajak ketemu, rasanya gengsi abis. Kita gak pernah chat. Dia gak pernah lihat atau reply story gue, atau ngelike postingan gue. Where the heck is she? Atau emang ngga aktif aja?
Intinya gitu. The more you grow, the more you value people surrounding you. The more you realize that people come and go VERY easily. Cuma sedikit yang mau stay, dan kalaupun ada, you gotta protect them with all cost. This occurs to me, who's not born with pretty face to naturally attract people just by your looks, or the social person who's attracting people with their likeable personality. Or your friendly neighbor, or the super nice kid who has pure heart, or the mysterious kid everyone wonder about. But hey, we're not here to compete by the number of friends we have, are we? You don't win by having many friends. You win if there's people who really sees you as someone important to them.
Dengan melihat story IG orang-orang (yang cuma nunjukkin sisi terbaik dari seseorang), gue seringkali merasa kalah. Sosial media seberpengaruh itu ke hidup gue, gue akuin. Gue merasa 'terkurung' lagi di rumah, padahal ya... ini liburan. Waktu yang tepat buat ngabisin waktu sama keluarga. Tapi dengan liat temen-temen gue jalan kesana kemari sama temen-temennya, ngabisin waktu dan uang, gue iri. Iya, gue masih ga bisa nerima keadaan kalau gue more of a family person than a friend person. Dulu sewaktu sekolah, apalagi pertengahan SMP, gue gak terlalu bisa nikmatin "proses berteman" itu sendiri. Hard times. Beranjak dewasa, gue sedikit lebih terbuka. Ada kok, orang yang bener-bener mau temenan sama kita. Masih ada orang-orang baik yang sefrekuensi sama kita. But still, I'm not the type of person who can make many friends. During college, sistem pertemanan juga makin ambigu. You create your circle. Your friends make huge impacts on your academics. Dan dari sanalah kita gak bisa temenan dengan semua orang. Dengan adanya "war" untuk milih kelas, kita akan stay sama sirkel kita for the rest of the year. No making new friends. Itulah kenapa memilih temen-temen yang setia itu penting di dunia perkuliahan. Jauh beda sama dulu waktu sekolah.
Itulah kids, sebuah petuah dari seorang mahasiswa gadungan.
Comments
Post a Comment