150821.
Hari Minggu ini cukup produktif daripada Minggu-Minggu sebelumnya. Walau gak ada apa-apanya dibanding nanti pas aku jadi mahasiswa beneran, tapi lumayan banyak bergerak dan beraktivitas hehe.
But first, aku mau ngomel dulu. Materinya mungkin agak sensitif, atau bahkan menggelikan buat kalian, tapi aku benar-benar kesulitan gara-gara masalah satu ini.
Di kaki kiri bagian dalam, ada bisul. Bukan bisul yang putih itu tepatnya, melainkan semacam kantung cairan bening seperti bubble. Aku gak bisa bilang nanah soalnya cairannya sendiri bening, tapi 11 12 lah sama nanah di dalam bisul. Intinya, itu menyakitkan. Tadi pagi aku sempat pilates dan 'bisul' itu gak sengaja tergesek sama kaki kananku dan... rasanya gak enak, tentu saja. Makin malam, bisulnya ini makin penuh rasanya. Kayak, cairan di dalamnya udah penuh tapi kantungnya gak mau membesar.
Kalian pernah gak sih gara-gara bisul kecil itu, atau masalah kecil seperti jerawat, mood kalian atau bahkan kebugaran kalian menurun? Aku ngerasa lemes hari ini. Waktu pilates aku biasanya kuat melakukan gerakan-gerakan yang terbilang sederhana, tapi tadi badanku kayak menolak buat jadi kuat. Malam ini lemasnya makin menjadi-jadi. Aku udah ngantuk di jam 9 malam, bahkan sekarang, sewaktu menulis. Tapi aku paksa aja sebelum mood nulisku hilang.
Tadinya aku gak mau bilang siapa-siapa tentang bisul sialan ini, tapi sakitnya gak bisa ditahan... Bisul satu ini kuat banget. Jadi, aku terpaksa confess ke ibu. Sejujurnya, tak ada masalah dengan menceritakan ini ke ibumu, tapi setiap aku menceritakan keluhanku secara lisan, aku makin jijik dengan tubuhku sendiri. Fun fact, bahkan saat aku konsultasi ke dokter kulit karena keluhan alergiku, seorang dokter pernah mengernyit saat melihat kulitku. Dengan mulut blak-blakannya, dia mengeluh, "kok bisa begini, sih?" dan menurutku itu offensive. Dia dokter dan seharusnya dia menyembuhkan, bukan ikut panik atas penderitaanku.
Kulitku tidak mulus, badanku tidak langsing, wajahku bulat, perutku buncit. Terkadang aku merasa jijik dengan diriku sendiri. Dengan alergiku, dengan bisul ini, dengan semuanya. Aku merasa helpless. Kukira, semakin aku dewasa, keluhan ini akan kiang berkurang, bahkan hilang dengan sendirinya. Well, selamat tinggal kulit mulus. Selamat tinggal kaki jenjang. Aku sudah mengucapkan selamat tinggal berkali-kali, tapi kenapa rasanya susah untuk melepas impian itu, ya?
Duh, kan, gara-gara bisul sebiji jadi curhat segini panjang. Kan, niatnya mau cerita tentang hari ini.
So,
Tadi pagi aku bangun pagi karena ada upacara adat di Bali yang seharusnya kudatangi, tapi gara-gara pandemi, aku, ibu, dan kedua adikku hanya bisa menonton dari live stream YouTube. Setelah itu, aku disuruh beli daging di pasar untuk keperluan sarapan oleh ibu.
Aku jarang belanja ke pasar sendirian... atau bahkan belum pernah? Aku ke pasar sendiri itu untuk tujuan pribadi, seperti jajan makanan sore atau beli keperluan pribadiku atau sekadar jalan pagi. Jangan tertawa, belanja ke pasar bukanlah tugasku. Well, not yet. (Fyi, aku harus memundurkan kaki kiri pada sandal agar bisulnya gak tergesek sama tali sandal. Merepotkan.)
Selain beli daging, aku disuruh beli buah-buahan untuk keperluan sesajen. Hari ini kebetulan ada upacara khusus untuk memperingati hari lahirku dalam kalender Bali. Namanya Otonan. Semacam ulang tahun, tapi 6 bulan sekali, and instead of cakes and gifts, there are sesajen and prayers. Unik, ya?
Sekembalinya aku ke rumah, aku baru sadar kalau Ibu ngechat untuk minta dibeliin tepung roti. Aku langsung bilang pada Ibu bahwa aku baru baca chatnya dong. Ibu memaklumi, tapi aku tahu bahwa aku salah. Kesalahanku pada Ibu tidak berhenti di situ saja.
Karena Ibu memberikan uang lebih, aku pakai uangnya untuk belanja keperluan skin care di toko kosmetik. Ditambah corndog untuk mengganjal perut, aku menghabiskan sekitar Rp 120.000,00. Di satu sisi, aku merasa bersalah karena menghabiskan uang sebanyak itu untuk skincare. Tapi di sisi lain, itu kan hakku untuk meminta kebutuhanku pada Ibu. Lagipula, aku memang butuh. Selama ini aku selalu irit karena memakai uang saku sendiri... Ah sudahlah, urusan uang memang agak berbeda untuk kasusku. Anggap saja itu seperti kesalahan keduaku pada Ibu, baik kalian menilaiku salah atau tidak.
Sorenya, aku memberanikan diri untuk membuat brownies tanpa Ibu karena Beliau sedang tidur. Mana berani aku bangunin. Jadi, aku dan sissy, kami cuma bermodalkan resep dan untuk pertama kalinya, bereksperimen sendiri. Di tengah jalan, Ibu bangun dan kami berdua hanya menanyakan kepastian langkah kerjanya, karena prosedur yang disediakan sangat minim kata. Tangan Ibu tidak membantu kita untuk membuat brownies ini.
Hasilnya? It was a freakin' mess.
Sepertinya aku salah memilih loyang. Loyangnya jelas terlalu kecil untuk adonannya, sehingga adonannya sempat jatuh ke pemantik api dan terjadi kebakaran kecil. Ovennya mati untuk sementara, tapi ternyata itulah penyebab kuenya tidak matang sempurna.
It was never close to a brownies. It was more like a lava cake but in a brownies length. Aku bahkan kesulitan memotongnya. Karena terus berjatuhan, aku mengambil sendok kue dan memakannya seperti lava cake. Untungnya, rasanya tidak buruk. Lembek, tapi coklatnya nendang. Aku aja yang bukan pencinta cokelat mengakui keenakan adonan ini. Selain lembek tidak karuan, aku juga terlalu banyak mengolesi mentega pada loyangnya... atau terlalu banyak memasukkan mentega pada adonan sehingga kuenya terlihat berminyak. Intinya, kue itu gagal total. Aku makin merasa bersalah karena tujuan kue itu dibuat adalah untuk dipersembahkan di sesajen. Ini kue aku buat untuk Tuhan, singkatnya. Haduh...
Sudah jelas gagal besar seperti ini, Ibu lagi-lagi memaklumi. Selalu kata-kata klise seperti, ''baru percobaan pertama, masa langsung sukses?" . Ini sifat Ibu yang aku suka tapi belakangan mulai aku sesali. Aku ingin cerita panjang tentang Ibuku, tapi sepertinya nanti aja di blog baru. Ada banyak yang ingin aku spill.
Aku hanya berhasil memotong beberapa potongan layaknya brownies, kue yang padat. Tuhan, aku benar-benar minta maaf. Semoga Tuhan tidak keberatan makan kue gagalku dan adik, hehe. Entah apa jadinya kalau adikku tidak turun tangan. Mungkin bakal jadi bubur coklat. Shoutout to my lil sis!
Setelah itu, aku membersihkan diri dan sembahyang. Belakangan ini, aku punya pandangan baru mengenai sembahyang. Aku seringkali curhat dengan Tuhan setelah ritual Tri Sandhya. Aku biasanya mengingatkan diriku untuk bersyukur, baru mengeluhkan masalah-masalahku, lalu berterima kasih karena mungkin dari masalah itu aku belajar sesuatu, lalu meminta maaf atas kesalahanku sebagai manusia kotor. Tadi, karena tragedi yang baru-baru ini menimpa keluargaku bagai durian runtuh (dalam konsep negatif), aku sedikit terbawa emosi.
Dari tragedi-tragedi itu, aku makin yakin bahwa kuasa Tuhan tiada tandingnya. Aku belajar bahwa hidup tetaplah di tangan Tuhan. Kita gak akan pernah tahu kapan waktu kita untuk sukses, atau pergi untuk selamanya. Kita hanyalah boneka Tuhan. Tubuh ini bukanlah punya kita, apalagi harta. Setelah menyadari hal itu, aku bilang pada-Nya bahwa aku punya tekad untuk hidup. Aku ingin lulus kuliah, bekerja sesuai dengan passionku dan dengan bahagia tentunya, merasakan pacaran, dan berkeluarga. Saat memaparkan tujuan abstrakku itulah aku mulai menitikkan air mata. Aku sudah bertekad. Aku akan hidup.
Kalau dipikir-pikir, ke depannya, aku mau sembahayang sendiri aja deh. Biasanya, saat ada hari besar, kami sekeluarga akan sembahyang bersama. Kalau bersama orang lain, aku seringkali merasa tidak fokus. Aku hanya semata-mata mengucapkan doa dari mulutku tanpa benar-benar merenung dan menyerahkan diri pada-Nya. Suasananya beda kalau sendiri. Kita bisa benar-benar "terbuka" pada Tuhan dan berserah. Setidaknya, buatku begitu.
Setelah sembahyang, aku melaksanakan kegiatan inti dari Otonan. Aku di kamar berdua dengan Ibu, dan aku duduk di atas tempat tidur yang beralaskan kain batik dan sesajen di hadapanku. Ibu akan memberiku air Tirtha, memasangkan gelang Tri Dathu, dan mendoakanku. Sesi ini sungguh bermakna setelah merasakannya di umurku sekarang. Seorang Ibu atau orangtua yang mendoakan anaknya di hari lahirnya, I mean, betapa indah hari Otonan ini?! Dulu, saat Otonan, aku dan adik-adikku selalu ikut untuk didoakan. Otonan siapapun itu. Aku selalu meminta Ibu atau Papaku untuk mendoakan dengan lisan, jadi kami bisa mendengar apa yang mereka harapkan untuk anak yang sedang Otonan ini.
Kami selalu bergurau setiap Ibu atau Papa mengucapkan sesuatu seperti "semoga (nama) bisa menjadi kakak yang baik untuk adiknya, semoga mendapat nilai bagus," dan semacamnya. Kami saling meledek dan mencibir satu sama lain sementara Ibu atau Papa hanya tersenyum. Lucu juga ya, mengenang masa-masa itu.
Well, segini aja deh buat drama hari ini! Banyak yang terjadi hari ini... banyakan emosinya, sih.
Semoga kalian, siapapun orang beruntung yang kuberi akses untuk membaca "diary"ku ini atau menemukan blog ini tanpa sengaja, mendapat sedikit renungan dan sedikitnya bisa membuka jalan untuk mengenal seorang Vanya lebih jauh lagi. Bye now!
Comments
Post a Comment